Saturday 15 August 2015

Biarkan Aku Melepasmu, Sahabatku

Saat aku mencoba mengahancurkan sayap ini
Kau malah merajutnya kembali
Saat aku akan membuang kenangan itu
Kau malah membawa kembali masa lalu

Mengapa kau membuat aku berharap
Mengharapkan suatu harapan kosong
Mengapa kau tunjukkan suatu kesempatan
Kesempatan yang hanya ada untuk dia

Kini biarkan aku pergi
Biarkan aku melpasmu
Biarkan aku melupakanmu
Biarkan aku melepaskan sayap harapan ini

Karena sekarang kau telah bersamanya
Karena kau hanya memikirkannya
Karena kau hanya tersenyum untuknya

Karena kau tak lagi menatapku
Seperti dulu kau untukku
Seperti dulu hanya ada diriku
Seperti dulu tanpa dirinya

Biarkan kita kini bersahabat
Seperti dulu hanya sahabat
Dan cuma akan jadi sahabat
Dan tak pernah lebih dari sahabat

Sang Bintang

Setiap malam kupandangi indah dirimu
Setiap malam ku temani kau dalam kegelapan
Tapi kau tak  penah menyadarinya
Bagimu hanya ada sang matahari
Mengapa bagimu hanya ia yang bercahaya?

Aku ingin bisa ada didekatmu
Tanpa ada pengawasan matahari
Aku ingin bisa menatapmu
Tanpa takut pada matahari
Aku ingin kau menyadari keberadaanku
Walau hanya sebagai hiasan malam

Aku selalu berharap
Matahari akan kehilangan sinarnya
Agar sinarku sampai kepadamu
Agar kau menyadari keberadaanku
Dan aku harap kau tau
Aku selalu menanti saat-saat itu

Bertahan

Hidup memang tidak seindah yang kau bayangkan
Terkadang untuk bahagia, kau harus merasakan sedih terlebih dahulu
Untuk tersenyum, kau harus menangis terlebih dahulu
Untuk mengetahui rasa memiliki, kau harus merasakan kehilangan terlebih dahulu
Untuk dicintai, kau harus berkorban untuk orang yang kau cintai

Ya hidup memang kadang tak adil
Kau disini sendiri menahan sakit dan tertatih
Entah berapa air mata yang sudah jatuh untuk mewakili perasaanmu
Kau tetap harus kuat dan terus berdiri
Tak apa kau menangis, karena esok kau akan tersenyum
Biarlah air mata mu jatuh bahkan hingga kering, karena esok kau tak perlu menangis lagi
Tak apa kau merasa kesepian, karena esok akan ada seseorang yang menuntunmu

Karena Allah
Tidak pernah tidur

Saturday 8 August 2015

Anugerah




Cinta adalah sebuah anugerah yang telah Allah berikan kepadaku
Dengan cinta aku merasa menjadi seseorang yang sangat istimewa
Hidupku telah sempuna

Kedua orang tuaku sangat mencintai diriku
Aku memiliki seorang kakak laki-laki dan sepasang adik kembar
dan mereka sangat menyayangiku
Bagiku tidak ada yang perlu dirisaukan dalam hidupku ini
Aku menjalani hari demi hari dengan canda tawa dan berjuta senyuman

Aku hanyalah gadis sederhana
Hanyalah gubuk tua tempat aku dilahirkan,
dan menjadi tempat tinggalku hingga saat ini
Hanya motor butut Ayah yang menjadi barang mewah kami
Motor yang suaranya pun sudah semakin kasar,
namun selalu setia mengantar Ayah kerja serta menghantarkan kami ke sekolah
Sebagai seorang pekerja pabrik, penghasilan Ayah tak seberapa,
akan tetapi cukup untuk menyekolahkan kami
Bagi Ayah pendidikan kami merupakan hal yang lebih utama
daripada sepiring nasi untuknya
Bagiku.. keluargaku adalah hal terindah yang ku miliki
Jika CINTA dan KASIH SAYANG mereka saja sudah cukup membuatku bahagia,
dan semua yang ku miliki saat ini sudah membuatku merasa cukup
Apa masih perlu aku mengharapkan harta yang berlebih?

Selain keluarga, aku juga memiliki tiga orang sahabat
Mereka sangat istimewa untukku
Persahabatan kami saling melengkapi
Selalu ada disaat yang lain membutuhkan
Tertawa dan bahagia bersama, menghapus duka dan menggantinya dengan suka,
saling membantu dalam setiap permasalahan

Aku sangat bersyukur atas hidup yang Allah berikan kepadaku
Untuk setiap kebahagiaan dan senyuman yang kurasakan
Untuk dunia yang sangat indah untuk aku tinggali,
walaupun sebenarnya aku sendiri belum pernah melihat dunia ini
Walaupun hanya hitam yang dapat aku lihat, tapi dengan kehadiran mereka
aku merasakan bahwa dunia ini sangatlah berwarna

Aku heran bagaimana mungkin seseorang diluar sana
merasa begitu menderita dan berputus asa
Benarkah kehidupan mereka tak seberuntung diriku?
Atau kah mereka yang kurang mensyukuri hidup ini?




With Love (3)



Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 dan Lena sama sekali tidak tertarik untuk pergi ke Café yang Riko minta. Dia sama sekali tidak peduli dengan hubungan Riko dan Cindy, sama sekali tidak mau peduli. Dia saja masih tidak mengerti mengapa dia jadi dilibatkan dalam persoalan mereka. Masa bodo akan seperti apa mereka, itu sama sekali bukan urusan dia. Riko sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa melibatkan dirinya sama sekali. Lena juga sama sekali tidak percaya dengan ancaman Riko, ancaman yang konyol menurutnya. Memangnya salah dia kalau Cindy mendengar semua perkataan mereka? Riko saja yang ceroboh, kan bisa saja tadi dia memutuskan panggilannya atau menahan Lena untuk tidak bicara macam-macam. Toh Riko yang duluan memulai perdebatan mereka. Arrgghh dia bisa gila kalau harus dikaitkan dalam hubungan percintaan Riko lagi. Sebelum Cindy pun Lena sudah pernah dikait-kaitkan dalam masalah Riko dengan mantan-mantannya. Dia sendiri tidak mengerti padahal hubungannya dan Riko sudah berakhir sejak lama dan mereka pun sudah tidak ada kedekatan yang spesial. Bertemu dengan Riko saja sudah menjadi masalah untuk Lena.

    “Lena kenapa kamu masih disini?” suara Pak Anton, atasannya, mengagetkan Lena.
   “Memang saya harus kemana Pak? Hari ini kita gak ada meeting kan?” Lena sambil melihat agenda kecil diatas mejanya, memang tidak ada jadwal penting apapun hari ini.
    “Loh bukannya Pak Riko meminta kamu untuk meeting?”
    “Maksud Bapak Pak Rico Mahendra?” Lena meyakinkan karena dia yakin betul tidak ada jadwal meeting hari ini.
   “Yah iya Rico Mahendra dari perusahaan Good LIfe. Memangnya ada berapa banyak klien kamu sekarang ini yang namanya Rico?” Sementara Lena hanya tersenyum kikuk.
   “Saya dapat laporan bahwa kemarin Pak Riko ada urusan lain, jadi dia harus pergi sebelum rapat selesai. Nah makanya dia minta ketemu kamu sekarang. Kamu lupa atau gimana?”

Loh loh apa-apaan ini? Dia sama sekali tidak tau kalau Riko bikin janji mengenai pekerjaan dengannya, kecuali… ah benar, dasar licik!

   “Tunggu apa lagi? Kamu udah telat 3 menit loh ini.” Ya ampun Pak Anton ini mudah sekali dikibuli oleh buaya jelek itu. Aahhh awas saja kau Riko.
   “Kalau gitu saya permisi, Pak” Lena pun segera mengambil tasnya dan pergi ke café yang Riko katakan kemarin.




Tiga puluh menit kemudian Lena sudah tiba dan langsung dapat menemukan Riko. Seperti biasanya laki-laki itu duduk di bangku yang mengarah ke Jendela besar dan kini sedang tersenyum ke arahnya. Senyum yang membuat Lena jengkel. Bagaimana mungkin kemarin dia marah-marah dengan nada tinggi dan sekarang dia tersenyum seolah Lena harus ikut tersenyum dengannya. Lena pun menghampiri Riko dan duduk di kursi depan Riko.

   “Akhirnya kamu dateng juga. Aku kira kamu gak mau datang, yah walaupun telat gapapa lah. Aku udah pesen minum, kamu mau apa?”
   “Heh gausah sok baik! Aku datang karena Pak Anton. Jadi gimana konsep yang kemarin udah aku kasih?”
   “Eh eh aku undang kamu kesini bukan ngomongin kerjaan loh. Aku sengaja bilang ke Pak Anton biar kamu bisa keluar kantor nemuin aku. Jadi harusnya kamu berterima kasih karena jadi bisa bolos tanpa perlu repot-repot izin.”
   “Ya ampun apaan si. Aku juga punya kerjaan lain di kantor.” Lena baru saja hendak pergi ketika tangan Riko menahannya.
   “Please Na. Sekali ini aja. Masa gamau bantu sih. Sebentar doang kok.” Riko setengah merengek. Senjata yang biasa dia lakukan dulu. DULU!
   “RIKO!!!” Lena dan Riko sontak menoleh ke arah datangnya suara tersebut. Dan ternyata tidak jauh dari mereka sedang berdiri wanita blasteran yang sedang menatap mereka dengan entahlah pokoknya Lena tidak suka melihatnya. “Pasti dia Cindy”. Bahkan dengan wajah penuh emosi seperti itu, Cindy tetap terlihat cantik dan menarik.
   “Kamu minta aku kesini buat liat ini?” Cindy menunjuk tangan Riko yang sedang menggenggam tangan Lena. Riko pun langsung melepas tangannya dan berdiri menghampiri Cindy.
   “Kamu jangan salah paham. Aku sengaja minta Lena datang kesini buat jelasin semuanya.”

Lena hanya terdiam melihat drama yang terjadi di café itu. Riko yang membujuk Cindy dengan berbagai kata pun akhirnya mampu membuat Cindy mau duduk di bangku antara Riko dan Lena.
   
    “Aku sama Lena cuma rekan kerja aja. Kamu inget kan waktu aku bilang aku diminta atasan aku untuk menangani bagian iklan perusahaan aku? Nah Lena ini adalah karyawan di agency iklan yang bekerja sama dengan perusahaan tempat aku kerja, dia yang nanganin iklan untuk perusahaan aku. Jadi aku sama Lena sekarang kerja bareng, cuma sampai proyek ini selesai kok. Kamu jangan salah paham.” Riko menjelaskan sambil memegang tangan Cindy. Mereka berdua saling bertatapan. Dan Lena hanya mampu melongo melihat mereka berdua.
    “Iya Cin kamu gausah salah paham, aku sama sekali…” Belum juga selesai menjelaskan Cindy sudah mengangkat tangannya kedepan muka Lena.
    “Aku gak tertarik denger penjelasan kamu. Aku gak akan percaya apa kata kamu karena kamu tuh masih ngarep balikan sama Riko. Aku bisa liat dari cara kamu liatin Riko. Inget ya kamu..”
   “Stop. Aduuhhh jangan ngomong sembarangan deh. Gua cuma rekan kerja sama Riko sampai proyek ini selesai. Secepatnya gue gak bakal ketemu sama cowo lo lagi! Siapa juga yang mau deket-deket cowo playboy sok kegantengan kayak dia.” kini giliran Lena yang memotong omongan Cindy.
    “Ssttt… jangan gitu dong say, aku kan minta Lena kesini buat jelasin ke kamu supaya kamu percaya.” Riko memegang kedua tangan Cindy.

Lena hanya bisa melongo ke arah mereka. Sedangkan yang diperhatikan hanya sibuk bertatapan. Akhirnya Lena pun hanya duduk diam memperhatikan Riko yang menjelaskan ke Cindy. Kenapa juga dia harus datang ke café ini kalau penjelasannya sama sekali tidak dibutuhkan. Apa-apaan ini bahkan dia tidak dipesankan makanan atau minuman. Lena pun berpikir harus segera meninggalkan dua pasangan ini sebelum Ia muntah di depan mereka. kemesraan mereka membuat perut Lena mual, Ia tidak tahan melihat senyuman dan gombalan Riko kepada Cindy. Bukan karena Ia cemburu tapi karena.. entahlah pokoknya bukan cemburu.

   “Ini salinan yang kemarin aku presentasiin, aku juga udah masukin beberapa revisi. Aku harus kembali ke kantor.” Lena menyerahkan map yang sedari tadi dipegangnya dan bersiap untuk pergi.
  “Eh tunggu, gue gak suka lo ngomong pake aku kamu sama Riko.” Cindy menatap Lena seperti singa yang menjaga anak-anaknya. Entahlah Lena pun tak pernah melihat singa yang secantik Cindy.

  “Oke sorry. Saya permisi.” Lena langsung pergi tak menghiraukan mereka sama sekali.

----------------------------------------------------------------------------------------

With Love (2)



Lena kembali keruang rapat dengan muka dan emosi yang sudah tidak karuan. Riko benar-benar menyebalkan, beraninya dia mengusik kembali perasaan Lena. Bukan Lena namanya kalau tidak mampu kembali fokus ke pekerjaan. Dia mungkin memang sulit mengendalikan emosi, tapi kalau sudah menyangkut pekerjaan maka dia benar-benar menunjukkan profesionalitasnya. Inilah alasan mengapa dia dijadikan sebagai karyawan teladan oleh atasan dan rekan-rekannya.

   “Ibu Lena, kami akan segera konfirmasi mengenai konsep yang telah diberikan.” Kata Adam kepada Lena sambil memberikan tangannya untuk berjabat tangan.
    “Iya, sampai jumpa untuk pertemuan selanjutnya. Bila nanti ada yang ingin diubah tolong segera konfirmasi agar kami menyiapkan revisi untuk di presentasikan di pertemuan berikutnya.” 

Lena menjabat tangan Adam dan Fira. Sebelum mereka akhirnya keluar dari ruangan sambil diantar oleh Astrid. Lena pun memberikan instruksi kepada Astrid, Farid dan Mita mengenai pekerjaan mereka selanjutnya.

    “Len tadi ada apaan si?” Mita duduk di kursi samping Lena yang masih sibuk dengan ketas-kertas konsepnya yang telah diberi beberapa coretan.
    “Apaan?” Lena acuh tak acuh.
   “Itu Riko tadi loh. Kan Lo keluar ngikutin dia, kok lama banget? Terus pas balik muka lo gak karuan bentuknya.” Mita setengah berbisik karena tak ingin Astrid dan Farid mendengar ucapan mereka.
   “Lo tau kan gimana kelakuan dia tadi? Gak abis pikir dia lebih mentingin tuh cewe dibanding gua yang lagi nyerocos ngomongin pekerjaan. Gua berasa gak dihargain. Dan saat gua nyamperin dia, eh dia malah ngeledek gua.” Jelas Lena setelah astrid dan Farid meninggalkan mereka berdua dalam ruang rapat.
   “Ngeledek gimana?” Mita semakin penasaran karena yang ditanya hanya diam saja menatapnya.

Suara dering handphone Lena pun memecah keheningan dan membebaskan Lena dari kewajiban menjawab pertanyaan Mita yang membuatnya bingung. Walaupun Mita adalah teman baiknya tetap saja Lena menganggap Mita tidak perlu tau apa yang terjadi antara Lena dan Riko. Lena masih ingat betul bagaimana reaksi Mita saat Lena menceritakan bahwa Riko yang menjadi klien mereka adalah Riko teman SMA Lena yang pernah menjadi gebetannya. Mita memang mengetahui hubungan Lena dan Riko sejak awal mereka menjadi rekan kerja sekitar 3 tahun yang lalu. Dan tentu saja Mita juga mengetahui hubungan mereka berakhir dengan tidak baik.

  “Len siapa sih ampe bengong gitu?” Mita menyadarkan Lena yang bahkan belum melihat siapa yang menelponnya.

Ternyata mimpi buruknya lah yang mencoba menghubunginya, Riko. Lena pun langsung me-reject panggilan itu, dia tidak mau berurusan lagi dengan Riko. Yah setidaknya untuk hari ini, karena tentu saja dia tetap harus berurusan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan perushaan Riko. Ponselnya kembali bordering, panggilan dari Riko. Ah apa maunya orang ini. Lena menggerutu dalam hati dan akhirnya dia pun menjawab panggilan Riko sebelum Mita menodongnya dengan rentetan pertanyaan.

  “HALO NA! LAMA BANGET SIH ANGKATNYA? KAMU LAGI NGAPAIN? LAGI DIMANA SEKARANG? KITA PERLU BICARA!” Belum juga Lena mengucapkan satu kata pun, Riko sudah meneriakinya seakan dia tuli.
  “APAAN SIH?” Lena tak mau kalah dengan nada yang dia harap terdengar kasar.
   “Kamu sengaja ya mau ngancurin hubungan aku sama Cindy? HAH? Aku mau ketemu sekarang. Kamu harus jelasin ke Cindy kalo KITA GAK ADA APA-APA.”
  “HEH! Emang udah jelas. Kita emang GAK ADA HUBUNGAN APA-APA.” Lena langsung memutuskan panggilan. Yang benar saja, belum pernah ada yang meneriakinya seperti itu. Apasih maunya anak itu.
  “Kenapa lo Len? Siapa sih itu?” Mita langsung memburunya.
  “Orang gila, salah sambung.” Lena pun bergegas membereskan dokumennya dan meninggalkan ruangan. Tak lupa Ia mematikan handphonenya takut Riko akan menelponnya lagi. Apa dia sedang berharap Riko akan menelponnya lagi? TIDAK!!


Anak ini pasti sudah gila. Beraninya dia mematikan ponselnya. Arrghhh Riko bisa gila bila harus menunggu lebih lama lagi. Kalau saja dia tau alamat kos Lena sekarang, dia pasti sudah menemuinya. Entah sudah berapa banyak panggilan tidak terjawab, mailbox dan sms yang telah dia kirimkan kepada Lena. Riko merasa sudah seperti stalker yang terus meneror idolanya. Tiba-tiba ponselnya bergetar, ada sms masuk. Betapa leganya begitu melihat nama Lena.

Ada apa? Jangan menggangguku! Kalau urusan pekerjaan telpon saja ke kantorku besok pagi.

Lena

Ada apa? Yang benar saja. Aahhh Riko benar-benar sudah tidak sanggup menahan emosinya. Semoga saja kali ini dia mengangkat telponku sebelum aku mencekiknya. Gerutunya dalam hati. Riko harus menunggu sampai nada keempat sebelum akhirnya dia mendengar suara Lena.
   
   “Kenapa nelpon?”
  “Kamu gak baca sms aku? Gak buka mailbox dari aku? HAH?” Riko dengan suara semakin meninggi, namun dia harap tidak terdengar  kasar.
   “Belum ada sms atau mailbox yang aku buka. Ada apa?”
  “Arrgghh terserah. Seperti yang aku bilang aku mau kamu jelasin kalo kita gak ada hubungan apapun di depan Cindy. Besok kita ketemuan. Pokoknya kamu harus jelasin ke Cindy. Ngerti?” Riko dapat mendengar bahwa Lena sedang menghembuskan napas dengan keras, Ia yakin pasti saat ini wajahnya sudah merah padam, matanya melotot dan mulutnya setengah terbuka. Dia tidak percaya masih dapat mengenal kebiasaan Lena sampai hal sekecil ini. Mau tidak mau, Ia malah tersenyum membayangkan wajah Lena disana.
  “Aku gak ngerti ya maksud kamu apa. Tapi aku gamau ketemuan ama kamu ama Cindy dengan alasan apapun. APAPUN!”
  “Kamu gak boleh lari dari tanggung jawab! Aku sama Cindy tadi lagi berantem, dan saat aku mau nelpon dia tadi siang kamu malah nyamperin aku dan ngomong macem-macem dan Cindy denger semuanya. Dia curiga aku ada apa-apa sama kamu dan dia marah denger kata-kata kamu. Pokoknya kamu harus jelasin SEMUANYA ke dia. Besok jam 1 kita ketemuan di café Delima deket kantor kamu. Kalo kamu gak datang aku bakal bilang ke bos kamu kalo kamu gak competen! Dan aku cancel kontrak kita karena kecewa dengan kinerja tim kamu! BESOK JAM ! CAFÉ DELIMA!” Dan sambungan pun terputus.


Entah bagaimana sekarang reaksi Lena, karena bahkan setelah sepuluh menit cewe itu tidak juga menghubungi Lena balik. Apa dia pikir ancaman Riko hanya main-main? Kepalanya pun semakin sakit memikirkan Cindy yang telah membuatnya senewen seharian ini. Dia sebenarnya memang salah karena begitu fokus bertengkar dengan Cindy  tanpa memperdulikan Lena yang sedang presentasi. Tetapi walaupun matanya terpaku pada handphone, dia masih bisa mendengarkan suara Lena sepanjang presentasi. Dia hanya perlu menemui Cindy, bukan tidak professional.

Saat dia meninggalkan ruang rapat dia langsung segera menelpon Cindy untuk meminta mereka bertemu sebelum pekerjaannya seharian ini akan terbengkalai jika masalah mereka belum selesai. Tapi sebelum panggilanya tersambung, tiba-tiba saja Lena sudah mendatanginya dan berbicara panjang lebar. Riko sendiri sampai lupa bahwa dia sedang mencoba menelpon Cindy, bahkan Ia juga melupakan masalahnya dengan Cindy. Yang dia tau, Lena terlihat tidak suka saat menyebutkan nama Cindy dan entah mengapa Riko sedikit berharap Lena merasa cemburu. Yah hanya sedikit, dia meyakinkan dirinya. Ternyata selama pembicaraan dengan Lena, Riko sama sekali tidak sadar bahwa panggilannya tersambung dengan Cindy sehingga Cindy bisa mendengar semua percakapan mereka. Entah apa yang Cindy pikirkan karena setelah mengucapkan kata PUTUS melalui BBM, Riko sudah tidak bisa menghubunginya. Riko berharap bahwa Cindy akan datang besok siang dan masalahnya cepat selesai, atau dia mungkin akan kehilangan pekerjaannya karena tidak bisa konsentrasi.
  “Ternyata Lena belum berubah. Aah Lena… Lena.”


With Love (1)




BODOH! BODOH!! BODOH!!! Lena menggerutu dalam hatinya. Bagaimana bisa dia sebodoh ini benar-benar bukan seperti dirinya. Biasanya dia selalu mampu mengendalikan emosinya.

“Ah kenapa bisa seperti ini?” rengeknya
Riko pasti akan membencinya, ya bagaimana mungkin laki-laki itu tidak membenci Lena. Lena baru saja mengusik hubungan Riko dan Cindy. Bagimana mungkin dia tidak mampu mengontrol tindakannya kemarin. Padahal dia hanya ingin menemui Riko untuk menyelesaikan masalah mereka. Ah dia memang tidak bisa mengerti dengan perasaannya saat itu, bagaimana mungkin dia bisa mengatakan kata-kata sekasar itu.
Saat itu Lena sedang mempresentasikan konsep iklan yang sudah dia rancang sejak seminggu yang lalu. Yah, Lena memang telah dipercaya oleh bosnya untuk menangani iklan perusahaan asuransi yang tak lain adalah perusahan dimana Riko bekerja. Sejak tau bahwa Riko yang akan menjadi kliennya, Lena memang ingin mundur dari proyek iklan ini. Namun karena desakan dari atasannya dan tidak ingin reputasinya sebagai karyawan teladan dicabut, Lena harus menguatkan hati untuk tidak mundur. Bagaimana mungkin dia bisa tahan satu ruangan dengan Riko tanpa mengingat masa lalu mereka? Dan bagaimana mungkin Lena tidak dongkol ketika mengetahui bahwa Riko sama sekali tidak memperhatikannya selama presentasi. Laki-laki itu malah sibuk dengan handphone yang sejak awal digengamnya. Bahkan saat lena menghentikan presentasinya, Riko sama sekali tidak meliriknya sedikit pun.
     “Maaf Pak Riko, bagaimana konsep yang kami ajukan?” dengan menahan nadanya agar serendah mungkin.
Riko masih tetap diam dan menatap handphonenya. Semua yang ada di ruangan saat itu, tiga orang rekan Lena yaitu Astrid, Farid, dan Mita, serta dua karyawan yang datang bersama Riko, menatap ke arah Riko. Namun bukannya sadar bahwa sedang diperhatikan, Riko malah mendesah dan setengah membanting handphonenya.
     “Maaf Pak Riko apakah anda memperhatikan saya?” Tanya Lena dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.    “Pak Riko.” Adam, salah satu karyawan Riko menyadarkannya sambil menyikut siku Riko.     “Ah iya bagaimana?” Riko akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap Lena bingung.
Hah bagaimana mungkin dia menatapnya seperti itu. Apakah dia benar-benar tidak mendengar penjelasan panjang lebar dari Lena sejak setengah jam yang lalu? Oh God, dia ingin mencekik laki-laki itu.     
     “Bagaimana konsep yang sudah kami ajukan Pak Riko?” kali ini Mita yang menanyakan, sepertinya dia sudah mulai jengkel.
Riko menundukkan kepalanya lalu menatap Lena kembali, “Maaf Bu Lena, saya akan mempelajari konsepnya nanti. Saya harus pergi sekarang. Adam Fira tolong kalian perhatikan konsepnya dan nanti laporkan kepada saya. Kalo ada yang tidak sesuai dengan konsep yang sudah kita bicarakan sebelumnya, kalian bicarakan saja kepada Bu Lena.” Riko sambil membereskan dokumen yang ada dihadapannya dan bersiap untuk pergi.
    “Maaf Pak Riko tapi saya..” Salah satu karyawan yang Lena kenal sebagai Adam.     “Saya percaya kepada keahlian Bu Lena. Kalau begitu saya permisi.” Potong Riko sambil melenggang keluar meninggalkan ruangan dan Lena yang sedang melongo tidak percaya.
Lena tidak percaya dengan apa yang Riko lakukan. Beraninya dia memperlakukan Lena seperti ini. Tanpa memperdulikan orang-orang yang ada diruangan itu Lena berdiri dan menyusul Riko keluar ruangan. Dengan menahan emosi Lena pun mengerjar.
     “HEH RIKO!” ternyata lebih keras dan kasar dari yang Lena inginkanRiko sedang memegang handphonenya di telinga saat langkahnya berhenti karena panggilan Lena. Dia pun membalikan badannya.  “Ada apa?” dengan muka menahan geram dan tidak melepaskan handphonenya dari telinga.   “Kamu apa-apaan si maen keluar gitu aja. Saya dan tim saya sudah mempersiapkan semuanya sesuai dengan yang kamu minta. Kamu kira saya gak tau dari tadi kamu liatin hp terus dan gak perhatiin presentasi saya. Terus sekarang kamu pergi gitu aja sebelum tim saya selesai jelaisn konsep kami? Apa gak bisa kamu fokus sama satu hal? Kenapa? Ada masalah sama pacar kamu? Selalu ya kamu, gak bisa professional.”
Lena sudah tidak mampu menahan amarahnya. Bagaimana dia tidak kesal karena Riko lebih memilih mencurahkan perhatian pada handphone yang dia tau sedang membalas BBM dari pacarnya dibandingkan memperhatikannya yang sedang membicarakan pekerjaan. Ini sama sekali bukan karena cemburu tetapi karena merasa tidak dihargai. Lena meyakinkan dirinya. Sementara Riko hanya mengerutkan keningnya.
   “Sori Na. Gausah bawa-bawa Cindy, dan ini bukan urusan kamu.” Riko melepaskan handphone dari telinganya.WHAT?? Apa laki-laki dihadapannya ini tidak punya otak? Pikir Lena. Siapa juga si Cindy ini? Pacar Riko yang baru, kenapa juga dia harus tau namanya.   “Aku sama sekali gak maksud mencampuri urusan kamu dan pacar kamu. Tapi masalah kamu sama dia itu udah mengganggu pekerjaan aku. Sadar gak sih? Aku tuh tadi lagi presentasi dan kamu malah sibuk sama cewe itu. Apa gak bisa ditunda apa urusan kamu? Emang dia gak bisa ngerti apa kalo kamu tuh lagi kerja!” bentak Lena. 
Dia sama sekali tidak mengerti kenapa dia bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu, dia sudah tidak ingat bahwa mereka sedang berada di kantornya, yang berarti rekan-rekan kerjanya dapat mendengar celotehannya.   “Oke aku gak ngerti kamu kyak gini karena marah soal kerja atau sedang cemburu. Lena Lena aku tuh kenal kamu.” Rico malah nyengir melihat Lena yang sudah merah padam.   “RIIKOOOO!! Aku sama sekali gak cemburu ya! Kamu mau ngapain juga bukan urusan aku asalkan gak ganggu kerja aku!” bentak Lena sambil semakin mendekati Riko.    “Oke. Kalo emang kamu mau aku gak ganggu pekerjaan kamu. Silakan kamu masuk kembali, karyawan aku mampu menggantikan aku untuk denger konsep kamu kok. Aku akan konfirmasi konsep kamu besok.” Riko baru saja hendak pergi ketika Lena menghadangnya kembali.   “Oke terserah kamu! Tapi sebaiknya kamu langsung terima aja konsep aku supaya urusan kita selesai. Dan jangan pernah hubungin aku lagi!” kini giliran Lena yang akan kembali ke ruang rapatnya. Namun tiba-tiba Riko menahan tangannya.    “Na… jangan gitu dong. Kenapa gak mau jujur aja sih na?” Riko menyeringai   “Apaan si. Lepasin tangan aku.” Lena mencoba menarik tangannya. Namun genggaman Riko malah semakin kuat.   “Aku udah peratiin kamu sejak kita ketemu lagi seminggu yang lalu. Kamu bahkan gak berani natap aku saat aku jelasin konsep yang perusahaan aku mau. Kenapa? Kamu masih nyimpen perasaan ya? Sekarang aja aku yakin kalo kamu lebih marah karena aku sibuk ama Cindy dibanding aku yang gak perhatiin presentasi kamu. Dan.. bukannya lebih baik kalo kita semakin sering ketemu?” Riko menatap lurus ke mata Lena.
Lena hanya terdiam dan terbelalak atas kata-kata Riko. Alhasil Lena hanya mampu membuka dan menutup mulutnya beberapa kali. Oh God sudah sinting kali laki-laki ini. Bahkan Lena saja tidak tau mengapa tiba-tiba dia merasa jantungnya berdebar. Tidak, dia pasti sudah gila kalau yang Riko katakan itu benar.   “Benar kan? Kamu tuh belum moved Len. Liat aja muka kamu jadi merah begitu. Jadi bilang aja kalo kamu gak suka kalo aku lebih mentingin Cindy daripada kamu.” Riko malah semakin nyengir melihat wajah Lena yang semakin merah.   “Terserah kamu bilang apa! Aku cuma gak suka kamu gak konsen sama urusan kantor gara-gara cewe. Apalagi itu menyangkut pekerjaan aku. Jangan mikir macem-macem. Lagi pula aku bukannya belom move on. Kalo mau juga aku bisa dapet pacar yang lebih dari kamu. Tapi karena aku perempuan baik, aku gak mau cari pacar cuma buat jadi pelarian atau selingan doang kyak kamu.” Lena pun segera pergi meninggalkan Riko. Tanpa Ia sadari sekarang muka Riko lah yang merah padam karena perkataan Lena.

--------

A Promise





Maya menatap lekat bayang wajahnya di cermin. Kantung hitam dibawah matanya berhasil tertutup sempurna oleh riasan. Siapa yang menyangka bahwa senyuman manis itu, hanyalah topeng untuk menyembunyikan perasannya. “Ah aku sudah semakin tua rupanya, waktu berjalan sangat cepat.” Maya tertegun ketika melihat hpnya, baru menyadari bahwa hari ini adalah tanggal 4 April 2015. “10 tahun” batinnya.

Ia sadar betul bahwa sudah 4 tahun ini Ia mencoba untuk melupakan laki-laki itu dan membuang semua kenangan lalu, namun hingga saat ini tak ada satu pun laki-laki yang mampu mengisi kekosongan hatinya. Ya memang seharusnya Ia segera melupakan laki-laki itu, namun perasaannya tak pernah mau menurutinya. Begitu lekat kah perasaan itu? Bahkan luka pun tak mampu menyingkirkannya?

Hari ini Ia menjadi bintang tamu talkshow salah satu televisi swasta. Siapa yang menduga novel terbarunya kembali difilmkan? Novel yang selalu Ia buat untuk satu harapan, berharap bahwa laki-laki itu akan mengetahui keberadaan Maya. Melalui novelnya Ia mencurahkan segala isi hatinya, berharap laki-laki yang Ia cari mengetahui bahwa Maya masih menunggunya dan berharap agar laki-laki itu menemuinya. Namun hingga 8 tahun berlalu, tak pernah ada tanda keberadaannya. Jangan pikir Maya tidak mencari laki-laki itu, Maya sendiri sudah tidak tau harus mencari kemana lagi.

Masih teringat jelas semua kenangan mengenai laki-laki itu. Mereka bersekolah di SMA yang sama, alasan Maya dekat dengan laki-laki ini adalah karena Fira, sahabatnya itulah yang telah menjadi mak comblang diantara mereka. Maya yang saat itu baru patah hati tidak mudah menerima keberadaan laki-laki ini, namun ketulusan laki-laki itu mampu menaklukan hatinya. Bagaimana laki-laki ini selalu ada untuknya, perhatian yang selalu tercurah, terlebih laki-laki ini selalu bersedia terluka untuknya. Benar-benar sosok yang sempurna bagi Maya. Namun dunia SMA hanyalah 3 tahun bukan?

   “Yan, kamu beneran milih kuliah di Yogya? Kenapa harus disana sih?”
   “Aku bosen aja sama Jakarta May, keluarga aku disana juga ada kan. Kamu gak perlu khawatir.”
  “Iyaa aku ngerti kamu bisa jaga diri, tapi kita gimana? SMA aja satu gedung, pulang bareng mulu. Apa bisa kita LDR?”
  “Yah gimana mau tau kalo gak dicoba? Aku janji akan kembali buat kamu kok. Saat liburan aku akan pulang secepat mungkin dan langsung nemuin kamu. Kita masih bisa komunikasi kan setiap hari kan? Aku yakin kita bisa jalanin kok. Anggep aja ini ujian buat hubungan kita”
  “Yah kalo itu emang terbaik dan kamu udah yakin mau disana, aku gak mungkin ngelarang kamu kan?”

Hidup ini memang aneh, disaat kita meyakini seseorang bahwa dialah yang terbaik, ternyata takdir membuktikan lain. Disaat kita menggantungkan harapan oleh sebuah janji, takdir membuktikannya. Waktu selalu tepat membuka semuanya, walaupun hati belum siap.

   “May, maaf aku gak bisa LDR. Kamu terlalu sibuk disana May, kita chat bisa diitung sehari berapa kali. Kamu selalu sibuk tugas ini tugas itu, kita telponan aja sebentar banget kan. Aku gak bisa May pacaran tapi kayak gak dianggep begini. Temen-temen aku juga banyak yang LDR, tapi mereka selalu videocall. Kita aja gak pernah kan. Jadwal padet lah deadline ujian cape. Aaahh!”
   “Rian ngerti dong, aku kan juga sibuk disini. Tugas aku banyak banget dan kegiatan aku lagi padet banget, namanya juga mahasiswa baru. Masa hal kayak gini kamu jadiin alesan sih. Kamu kan tau aku gak ngekost, aku cape lagian yang penting kita masih komunikasi kan.”
   “Aku juga disini kuliah May, tap aku selalu sempetin waktu buat kamu. Aku bosen May kita pacaran kayak temenan gini. Kamu kan tau kita udah gak mungkin jalan, makan atau pun nonton bareng kan. Kita udah jauh gini, cuma bisa komunikasi lewat hp, curhat cerita cuma bisa lewat chat atau telpon, tapi waktunya selalu gak. ada.”
   “Kamu maunya apa sih?”
   “Aku mau… May kamu ngerti dong, aku tuh sayang sama kamu. Tapi aku gak bisa begini May.. 6 bulan kita LDR, 6 bulan aku ngerasa sendiri”
   “Iya aku tau, tapi kamu maunya apa sih? Kamu juga sekarang jadi aneh gini deh. Selalu nuntut aku.”
   “Aku mau kita putus May. Aku bingung juga kenapa kita jadi begini tapi.. aku mau kita kayak dulu lagi.. aku sayang kamu tapi..”
  “Maya ngerti, kita putus. Lupain aja semuanya, susah ya LDR. Gak ketauan disana apa yang terjadi.”
  “May, aku sayang banget sama kamu, aku disini gak deket sama cewe lain, kamu jangan salah paham. Alasannya kan karena..”
   “Aku ngerti. Kamu butuhnya cewe yang ada buat kamu terus kan? Aku gak bisa. Sejak SMA sampe sekarang aku selalu mentingin pelajaran kan? Gak pernah ada waktu buat jalan sama Rian dan gak perhatian sama Rian. 6 bulan ini juga kita pacaran buat berantem doang kan? Maaf yaa Maya gak bisa bales sebuah perhatian dan sikap Rian ke Maya selama ini.”
   “Rian yang minta maaf. Aku janji akan balik lagi, saat liburan kita masih bisa ketemu kan? Dan 4 tahun lagi, saat kita selesai sarjana, aku akan kembali ke Jakarta nemuin kamu, aku mau balik sama kamu lagi. Terserah Maya mau balikan sama aku atau engga, tapi 4 tahun lagi aku akan ajak kamu balikan. Kamu jaga diri yaa May, aku sayang banget sama kamu. Tapi keadaan yang maksa kita begini. Mungkin nanti aku pacaran sama cewe lain atau Maya juga pacaran sama cowo lain, tapi pastiin kalo itu semua cuma karena kita butuh perhatian dan dukungan dari seseorang aja ya, aku akan selalu sayang kamu. Akan aku penuhin janji aku.”
   “Oke. Aku sayang kamu. Aku pasti nungguin kamu.”

Yah itulah janji laki-laki itu, namun itu hanyalah sekedar kata-kata yang kosong. Terlihat nyata dan terlihat ada, namun kau tak bisa menggenggamnya. Yah 2 bulan setelah perpisahan Maya dan laki-laki itu, memang komunikasi diantara mereka masih berjalan baik. Seolah hubungan mereka tak pernah retak. Laki-laki itu masih bersikap seolah dia benar-benar menyayangi Maya dan akan kembali menepati janji itu. Namun hanya sebulan setelahnya, laki-laki itu sudah bersama Tika, teman baik Maya sewaktu SMA yang kuliah ditempat yang sama dengan laki-laki itu. Maya pun mengetahui hubungan mereka setelah berjalan entah berapa lama. Begitu mengetahuinya, Maya dengan segera mengatakan bahwa Ia ikut berbahagia, yah dia memang berbahagia karena Ia lebih tenang bila ada yang mengawasi Rian selama disana. Maya terlalu khawatr terhadap pergaulan Rian, rasa leganya berhasil menutupi perasaan sakitnya. Namun setelah Maya mengetahui hubungan mereka, laki-laki itu menghilang.

Tidak, dia tidak benar-benar menghilang. Beberapa kali laki-laki itu datang menanyakan kabar dan menyiram kembali pohon harapan di hati Maya hingga pohon itu tumbuh subur. Dengan  mengatakan bahwa laki-laki itu masih menyayangi Maya padahal jelas dia mengatakan sayang ke Tika dan hadir untuk Tika, bukan Maya. Maya memang kekanakan, percaya pada harapan semu. Ya, hanya harapan yang laki-laki itu berikan sesekali, namun itu cukup untuk membuat Maya menunggu laki-laki itu selama 6 tahun. Bukankah itu waktu yang cukup?

Yah cerita mereka memang cerita klise, mereka dipertemukan kembali oleh waktu. Tepat pada 4 April 2011, hari jadian mereka dulu. Saat itu Maya baru saja selesai meet and greet di salah satu stasiun radio di Jakarta Timur. Saat sedang makan siang di salah satu warung makan favorit mereka dulu, yah sekedar untuk melihat kembali kenangan yang Ia tinggalkan bersama laki-laki itu. Bukankah memang takdir tidak pernah bisa diduga? Laki-laki itu duduk di tiga meja depan Maya, posisinya tepat mengarah kepadanya. Maya hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, setelah 6 tahun Maya menunggu dan mencarinya, ternyata dipertemuakan di tempat ini. Maya pun kembali dibanjiri kenangan kebersamaan bersama laki-laki itu, kenangan yang tak bisa Ia lupakan. Lamunannya terbuyar ketika tatapan mereka bertemu. “Ya Tuhan mengapa waktu bisa berhenti seperti ini?” terlihat jelas rasa kaget, bingung dan tidak percaya terpancar dari mata laki-laki itu. “Ya, dia masih mengenaliku.” Entah kekuatan apa yang merasuki Maya hingga tak disadari ternyata Ia sudah berjalan menghampri laki-laki itu. Begitu banyak pertanyaan yang berkelebat di hati dan otak Maya, dan siap Ia luncurkan.

   “Maya?” dia tersenyum, senyuman yang sangat dirindukan Maya
   “Kamu… kemana aja?” yah itulah yang keluar dari mulut Maya tanpa bisa dicegah
  “Heemm… Aku liat kamu di TV, kamu udah jadi penulis terkenal ya sekarang. Aku juga nonton filmnya. Kamu emang berbakat May, aku gak tau kamu punya bakat nulis.”
“Kenapa Yan? Bahkan setelah 6 tahun kamu masih menghindar?” batin Maya
Maya tau, laki-laki itu sedang mengalihkan pembicaraan. “Apa mungkin Rian belum mau membahasnya? Ya, akan ku tahan semua pertanyaan-pertanyaan ini. Ku kendalikan diriku.” Mereka pun akhirnya hanya berbincang mengenai kabar dan pekerjaan maisng-masing, tanpa membahas masa lalu. Bagaikan dua orang teman SMA yang tak sengaja bertemu di suatu tempat, seperti telah melupakan masa lalu mereka yang belum berakhir, setidaknya menurut Maya.

Maya begitu tenggelam dalam kehangatan suasana saat itu, begitu bahagianya melihat laki-laki itu tersenyum kepadanya sama seperti dulu. Ia bahkan berani menaruh harapan untuk adanya pertemuan-pertemuan selanjutnya. Ia membayangkan hubungannya dan Rian akan kembali seperti dulu. Namun setelah 20 menit mereka berbincang Maya menyadari keberadaan cicin perak yang melingkar di jari manis laki-laki itu. Cincin yang Maya yakini bukan sekedar aksesoris biasa.

   “Rian? Cicin itu?”
   “Heemm… ini cincin.. hem..”
Perasaan Maya semakin kacau. “Mungkinkah?”
   “May, huh aku tau aku salah. Maaf May aku gak tepatin janji itu. Aku sudah menikah May, 5 bulan yang lalu.”
“Apakah waktu berhenti kembali? Atau duniaku yang sudah runtuh?”
 Sangat sulit bagi Maya untuk mengatur nafasnya, kenapa begitu sesak? Laki-laki itu sudah menikah, ya itulah kenyataan yang baru Maya dengar. Bukankah itu bagus? Laki-laki itu kini baik-baik saja, bahkan jauh lebih baik, dan dia bahagia, Bukankah itu yang Maya inginkan? Dan laki-laki itu masih ingat dengan janjinya? Dia sama sekali tidak melupakan semua itu, bukankah itu yang Maya harapkan? “Seharusnya aku lega, bukan?”
   “Maya aku benar-benar menyesal, aku minta maaf. Aku tau seharusnya aku tidak melakukan hal ini. Aku memang tidak konsisten. Kamu berhak membenci aku. Aku memang pengecut May, maafkan aku.”
   “Tika?”
   “Bukan, namanya Abel. Aku mengenalnya sejak kuliah, dia adalah adik sahabatku di Yogya. Aneh memang, takdir tidak pernah dapat kita duga. Tidak ada yang tau esok akan bagaimana. Aku minta maaf May, maaf bukan maksud aku..”
   “Rian bahagia?”
   “Maya aku benar-benar minta maaf. Cinta itu datang begitu aja. Saat aku putus dari Tika, aku udah berniat kembali ke kamu. Tapi ternyata saat aku mengenal Abel, semuanya berubah May. Aku gak berani muncul dihadapan kamu. Aku benar-benar merasa bersalah…”
   “Rian bahagia?”
   “Huuhh… iya”
   “Kalo gitu Maya juga bahagia, Maya selalu berharap untuk kebahagiaan kita. Jadi kamu gak perlu merasa bersalah. Takdir Rian sama dia, dan Maya juga dengan laki-laki lain. Masa lalu biarlah berlalu.”
   “Kamu juga sudah menemukan laki-laki lain? Apa kamu bahagia May? Aku lega jika kamu juga sudah menemukan laki-laki yang kau cintai.”
Iya Rian, aku memang sudah menemukannya. Tapi dia sudah tidak mencintaiku.
   “Kamu hanya perlu tau, bahwa aku bahagia. Lagipula janji itu kan waktu kita remaja, hanya janji biasa dan itu sudah lama sekali berlalu. Kau tidak perlu mencemaskanku.”
   “Syukurlah, aku khawatir kau akan marah. Oleh karenanya aku tak berani menemuimu, aku sangat menyesal. Tapi.. sekarang aku lega karena kita sudah sama-sama bahagia.” Rian tersenyum, senyum yang sangat Maya rindukan, senyum yang sangat Ia cintai, senyum yang dulu mampu membangkitkan kembali dunianya. Tapi tidak saat ini, senyum itu hanya menambah kesakitan hatinya. Rian sudah sangat bahagia.

Maya mencoba membalas senyuman Rian dengan senormal mungkin, Ia tak mau merusak kebahagiaan Rian dengan menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Maya memandangi wajah laki-laki itu sekali lagi namun mungkin untuk yang terakhir kali. Ia hanya terdiam, sambil menekan rasa sakit di dadanya dan menahan agar air matanya tidak jatuh, setidaknya tidak didepan laki-laki itu. Maya pun berlalu, meninggalkan Rian dan meninggalkan kenangan masa lalunya. Meninggalkan hatinya disana.

Kini 4 tahun telah berlalu, dan semua masih tersimpan jelas di memori otaknya. Sakit itu telah tertutup, luka itu telah mengering, namun hatinya belum bisa menerima kehadiran cinta lain ke dalam hatinya. Apakah karena hatinya telah ditinggalkan bersama Rian? Sepertinya harapan akan janji itu telah memenuhi setiap ruang dihati Maya, dan hingga saat janji itu pun tak tercapai. Harapan itu ternyata masih memenuhi hati ini, apakah pantas aku menunggu laki-laki yang berbahagia bersama perempuan lagi? Apakah ini cinta? Atau kah luka?



“Mbak Maya, apakah sudah siap? Sudah mau masuk scene 3 Mbak. Mari Mbak ke backstage.” Suara Ina menarik kembali Maya dari masa lalunya, memaksanya untuk kembali ke kenyataan yang harus Ia hadapi.

----------selesai