Saturday 8 August 2015

A Promise





Maya menatap lekat bayang wajahnya di cermin. Kantung hitam dibawah matanya berhasil tertutup sempurna oleh riasan. Siapa yang menyangka bahwa senyuman manis itu, hanyalah topeng untuk menyembunyikan perasannya. “Ah aku sudah semakin tua rupanya, waktu berjalan sangat cepat.” Maya tertegun ketika melihat hpnya, baru menyadari bahwa hari ini adalah tanggal 4 April 2015. “10 tahun” batinnya.

Ia sadar betul bahwa sudah 4 tahun ini Ia mencoba untuk melupakan laki-laki itu dan membuang semua kenangan lalu, namun hingga saat ini tak ada satu pun laki-laki yang mampu mengisi kekosongan hatinya. Ya memang seharusnya Ia segera melupakan laki-laki itu, namun perasaannya tak pernah mau menurutinya. Begitu lekat kah perasaan itu? Bahkan luka pun tak mampu menyingkirkannya?

Hari ini Ia menjadi bintang tamu talkshow salah satu televisi swasta. Siapa yang menduga novel terbarunya kembali difilmkan? Novel yang selalu Ia buat untuk satu harapan, berharap bahwa laki-laki itu akan mengetahui keberadaan Maya. Melalui novelnya Ia mencurahkan segala isi hatinya, berharap laki-laki yang Ia cari mengetahui bahwa Maya masih menunggunya dan berharap agar laki-laki itu menemuinya. Namun hingga 8 tahun berlalu, tak pernah ada tanda keberadaannya. Jangan pikir Maya tidak mencari laki-laki itu, Maya sendiri sudah tidak tau harus mencari kemana lagi.

Masih teringat jelas semua kenangan mengenai laki-laki itu. Mereka bersekolah di SMA yang sama, alasan Maya dekat dengan laki-laki ini adalah karena Fira, sahabatnya itulah yang telah menjadi mak comblang diantara mereka. Maya yang saat itu baru patah hati tidak mudah menerima keberadaan laki-laki ini, namun ketulusan laki-laki itu mampu menaklukan hatinya. Bagaimana laki-laki ini selalu ada untuknya, perhatian yang selalu tercurah, terlebih laki-laki ini selalu bersedia terluka untuknya. Benar-benar sosok yang sempurna bagi Maya. Namun dunia SMA hanyalah 3 tahun bukan?

   “Yan, kamu beneran milih kuliah di Yogya? Kenapa harus disana sih?”
   “Aku bosen aja sama Jakarta May, keluarga aku disana juga ada kan. Kamu gak perlu khawatir.”
  “Iyaa aku ngerti kamu bisa jaga diri, tapi kita gimana? SMA aja satu gedung, pulang bareng mulu. Apa bisa kita LDR?”
  “Yah gimana mau tau kalo gak dicoba? Aku janji akan kembali buat kamu kok. Saat liburan aku akan pulang secepat mungkin dan langsung nemuin kamu. Kita masih bisa komunikasi kan setiap hari kan? Aku yakin kita bisa jalanin kok. Anggep aja ini ujian buat hubungan kita”
  “Yah kalo itu emang terbaik dan kamu udah yakin mau disana, aku gak mungkin ngelarang kamu kan?”

Hidup ini memang aneh, disaat kita meyakini seseorang bahwa dialah yang terbaik, ternyata takdir membuktikan lain. Disaat kita menggantungkan harapan oleh sebuah janji, takdir membuktikannya. Waktu selalu tepat membuka semuanya, walaupun hati belum siap.

   “May, maaf aku gak bisa LDR. Kamu terlalu sibuk disana May, kita chat bisa diitung sehari berapa kali. Kamu selalu sibuk tugas ini tugas itu, kita telponan aja sebentar banget kan. Aku gak bisa May pacaran tapi kayak gak dianggep begini. Temen-temen aku juga banyak yang LDR, tapi mereka selalu videocall. Kita aja gak pernah kan. Jadwal padet lah deadline ujian cape. Aaahh!”
   “Rian ngerti dong, aku kan juga sibuk disini. Tugas aku banyak banget dan kegiatan aku lagi padet banget, namanya juga mahasiswa baru. Masa hal kayak gini kamu jadiin alesan sih. Kamu kan tau aku gak ngekost, aku cape lagian yang penting kita masih komunikasi kan.”
   “Aku juga disini kuliah May, tap aku selalu sempetin waktu buat kamu. Aku bosen May kita pacaran kayak temenan gini. Kamu kan tau kita udah gak mungkin jalan, makan atau pun nonton bareng kan. Kita udah jauh gini, cuma bisa komunikasi lewat hp, curhat cerita cuma bisa lewat chat atau telpon, tapi waktunya selalu gak. ada.”
   “Kamu maunya apa sih?”
   “Aku mau… May kamu ngerti dong, aku tuh sayang sama kamu. Tapi aku gak bisa begini May.. 6 bulan kita LDR, 6 bulan aku ngerasa sendiri”
   “Iya aku tau, tapi kamu maunya apa sih? Kamu juga sekarang jadi aneh gini deh. Selalu nuntut aku.”
   “Aku mau kita putus May. Aku bingung juga kenapa kita jadi begini tapi.. aku mau kita kayak dulu lagi.. aku sayang kamu tapi..”
  “Maya ngerti, kita putus. Lupain aja semuanya, susah ya LDR. Gak ketauan disana apa yang terjadi.”
  “May, aku sayang banget sama kamu, aku disini gak deket sama cewe lain, kamu jangan salah paham. Alasannya kan karena..”
   “Aku ngerti. Kamu butuhnya cewe yang ada buat kamu terus kan? Aku gak bisa. Sejak SMA sampe sekarang aku selalu mentingin pelajaran kan? Gak pernah ada waktu buat jalan sama Rian dan gak perhatian sama Rian. 6 bulan ini juga kita pacaran buat berantem doang kan? Maaf yaa Maya gak bisa bales sebuah perhatian dan sikap Rian ke Maya selama ini.”
   “Rian yang minta maaf. Aku janji akan balik lagi, saat liburan kita masih bisa ketemu kan? Dan 4 tahun lagi, saat kita selesai sarjana, aku akan kembali ke Jakarta nemuin kamu, aku mau balik sama kamu lagi. Terserah Maya mau balikan sama aku atau engga, tapi 4 tahun lagi aku akan ajak kamu balikan. Kamu jaga diri yaa May, aku sayang banget sama kamu. Tapi keadaan yang maksa kita begini. Mungkin nanti aku pacaran sama cewe lain atau Maya juga pacaran sama cowo lain, tapi pastiin kalo itu semua cuma karena kita butuh perhatian dan dukungan dari seseorang aja ya, aku akan selalu sayang kamu. Akan aku penuhin janji aku.”
   “Oke. Aku sayang kamu. Aku pasti nungguin kamu.”

Yah itulah janji laki-laki itu, namun itu hanyalah sekedar kata-kata yang kosong. Terlihat nyata dan terlihat ada, namun kau tak bisa menggenggamnya. Yah 2 bulan setelah perpisahan Maya dan laki-laki itu, memang komunikasi diantara mereka masih berjalan baik. Seolah hubungan mereka tak pernah retak. Laki-laki itu masih bersikap seolah dia benar-benar menyayangi Maya dan akan kembali menepati janji itu. Namun hanya sebulan setelahnya, laki-laki itu sudah bersama Tika, teman baik Maya sewaktu SMA yang kuliah ditempat yang sama dengan laki-laki itu. Maya pun mengetahui hubungan mereka setelah berjalan entah berapa lama. Begitu mengetahuinya, Maya dengan segera mengatakan bahwa Ia ikut berbahagia, yah dia memang berbahagia karena Ia lebih tenang bila ada yang mengawasi Rian selama disana. Maya terlalu khawatr terhadap pergaulan Rian, rasa leganya berhasil menutupi perasaan sakitnya. Namun setelah Maya mengetahui hubungan mereka, laki-laki itu menghilang.

Tidak, dia tidak benar-benar menghilang. Beberapa kali laki-laki itu datang menanyakan kabar dan menyiram kembali pohon harapan di hati Maya hingga pohon itu tumbuh subur. Dengan  mengatakan bahwa laki-laki itu masih menyayangi Maya padahal jelas dia mengatakan sayang ke Tika dan hadir untuk Tika, bukan Maya. Maya memang kekanakan, percaya pada harapan semu. Ya, hanya harapan yang laki-laki itu berikan sesekali, namun itu cukup untuk membuat Maya menunggu laki-laki itu selama 6 tahun. Bukankah itu waktu yang cukup?

Yah cerita mereka memang cerita klise, mereka dipertemukan kembali oleh waktu. Tepat pada 4 April 2011, hari jadian mereka dulu. Saat itu Maya baru saja selesai meet and greet di salah satu stasiun radio di Jakarta Timur. Saat sedang makan siang di salah satu warung makan favorit mereka dulu, yah sekedar untuk melihat kembali kenangan yang Ia tinggalkan bersama laki-laki itu. Bukankah memang takdir tidak pernah bisa diduga? Laki-laki itu duduk di tiga meja depan Maya, posisinya tepat mengarah kepadanya. Maya hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, setelah 6 tahun Maya menunggu dan mencarinya, ternyata dipertemuakan di tempat ini. Maya pun kembali dibanjiri kenangan kebersamaan bersama laki-laki itu, kenangan yang tak bisa Ia lupakan. Lamunannya terbuyar ketika tatapan mereka bertemu. “Ya Tuhan mengapa waktu bisa berhenti seperti ini?” terlihat jelas rasa kaget, bingung dan tidak percaya terpancar dari mata laki-laki itu. “Ya, dia masih mengenaliku.” Entah kekuatan apa yang merasuki Maya hingga tak disadari ternyata Ia sudah berjalan menghampri laki-laki itu. Begitu banyak pertanyaan yang berkelebat di hati dan otak Maya, dan siap Ia luncurkan.

   “Maya?” dia tersenyum, senyuman yang sangat dirindukan Maya
   “Kamu… kemana aja?” yah itulah yang keluar dari mulut Maya tanpa bisa dicegah
  “Heemm… Aku liat kamu di TV, kamu udah jadi penulis terkenal ya sekarang. Aku juga nonton filmnya. Kamu emang berbakat May, aku gak tau kamu punya bakat nulis.”
“Kenapa Yan? Bahkan setelah 6 tahun kamu masih menghindar?” batin Maya
Maya tau, laki-laki itu sedang mengalihkan pembicaraan. “Apa mungkin Rian belum mau membahasnya? Ya, akan ku tahan semua pertanyaan-pertanyaan ini. Ku kendalikan diriku.” Mereka pun akhirnya hanya berbincang mengenai kabar dan pekerjaan maisng-masing, tanpa membahas masa lalu. Bagaikan dua orang teman SMA yang tak sengaja bertemu di suatu tempat, seperti telah melupakan masa lalu mereka yang belum berakhir, setidaknya menurut Maya.

Maya begitu tenggelam dalam kehangatan suasana saat itu, begitu bahagianya melihat laki-laki itu tersenyum kepadanya sama seperti dulu. Ia bahkan berani menaruh harapan untuk adanya pertemuan-pertemuan selanjutnya. Ia membayangkan hubungannya dan Rian akan kembali seperti dulu. Namun setelah 20 menit mereka berbincang Maya menyadari keberadaan cicin perak yang melingkar di jari manis laki-laki itu. Cincin yang Maya yakini bukan sekedar aksesoris biasa.

   “Rian? Cicin itu?”
   “Heemm… ini cincin.. hem..”
Perasaan Maya semakin kacau. “Mungkinkah?”
   “May, huh aku tau aku salah. Maaf May aku gak tepatin janji itu. Aku sudah menikah May, 5 bulan yang lalu.”
“Apakah waktu berhenti kembali? Atau duniaku yang sudah runtuh?”
 Sangat sulit bagi Maya untuk mengatur nafasnya, kenapa begitu sesak? Laki-laki itu sudah menikah, ya itulah kenyataan yang baru Maya dengar. Bukankah itu bagus? Laki-laki itu kini baik-baik saja, bahkan jauh lebih baik, dan dia bahagia, Bukankah itu yang Maya inginkan? Dan laki-laki itu masih ingat dengan janjinya? Dia sama sekali tidak melupakan semua itu, bukankah itu yang Maya harapkan? “Seharusnya aku lega, bukan?”
   “Maya aku benar-benar menyesal, aku minta maaf. Aku tau seharusnya aku tidak melakukan hal ini. Aku memang tidak konsisten. Kamu berhak membenci aku. Aku memang pengecut May, maafkan aku.”
   “Tika?”
   “Bukan, namanya Abel. Aku mengenalnya sejak kuliah, dia adalah adik sahabatku di Yogya. Aneh memang, takdir tidak pernah dapat kita duga. Tidak ada yang tau esok akan bagaimana. Aku minta maaf May, maaf bukan maksud aku..”
   “Rian bahagia?”
   “Maya aku benar-benar minta maaf. Cinta itu datang begitu aja. Saat aku putus dari Tika, aku udah berniat kembali ke kamu. Tapi ternyata saat aku mengenal Abel, semuanya berubah May. Aku gak berani muncul dihadapan kamu. Aku benar-benar merasa bersalah…”
   “Rian bahagia?”
   “Huuhh… iya”
   “Kalo gitu Maya juga bahagia, Maya selalu berharap untuk kebahagiaan kita. Jadi kamu gak perlu merasa bersalah. Takdir Rian sama dia, dan Maya juga dengan laki-laki lain. Masa lalu biarlah berlalu.”
   “Kamu juga sudah menemukan laki-laki lain? Apa kamu bahagia May? Aku lega jika kamu juga sudah menemukan laki-laki yang kau cintai.”
Iya Rian, aku memang sudah menemukannya. Tapi dia sudah tidak mencintaiku.
   “Kamu hanya perlu tau, bahwa aku bahagia. Lagipula janji itu kan waktu kita remaja, hanya janji biasa dan itu sudah lama sekali berlalu. Kau tidak perlu mencemaskanku.”
   “Syukurlah, aku khawatir kau akan marah. Oleh karenanya aku tak berani menemuimu, aku sangat menyesal. Tapi.. sekarang aku lega karena kita sudah sama-sama bahagia.” Rian tersenyum, senyum yang sangat Maya rindukan, senyum yang sangat Ia cintai, senyum yang dulu mampu membangkitkan kembali dunianya. Tapi tidak saat ini, senyum itu hanya menambah kesakitan hatinya. Rian sudah sangat bahagia.

Maya mencoba membalas senyuman Rian dengan senormal mungkin, Ia tak mau merusak kebahagiaan Rian dengan menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Maya memandangi wajah laki-laki itu sekali lagi namun mungkin untuk yang terakhir kali. Ia hanya terdiam, sambil menekan rasa sakit di dadanya dan menahan agar air matanya tidak jatuh, setidaknya tidak didepan laki-laki itu. Maya pun berlalu, meninggalkan Rian dan meninggalkan kenangan masa lalunya. Meninggalkan hatinya disana.

Kini 4 tahun telah berlalu, dan semua masih tersimpan jelas di memori otaknya. Sakit itu telah tertutup, luka itu telah mengering, namun hatinya belum bisa menerima kehadiran cinta lain ke dalam hatinya. Apakah karena hatinya telah ditinggalkan bersama Rian? Sepertinya harapan akan janji itu telah memenuhi setiap ruang dihati Maya, dan hingga saat janji itu pun tak tercapai. Harapan itu ternyata masih memenuhi hati ini, apakah pantas aku menunggu laki-laki yang berbahagia bersama perempuan lagi? Apakah ini cinta? Atau kah luka?



“Mbak Maya, apakah sudah siap? Sudah mau masuk scene 3 Mbak. Mari Mbak ke backstage.” Suara Ina menarik kembali Maya dari masa lalunya, memaksanya untuk kembali ke kenyataan yang harus Ia hadapi.

----------selesai

No comments:

Post a Comment